Gue dan cucu-cucunya yang lain memanggil beliau dengan sebutan Opa. Mungkin efek didikan Blande yang kental membuat dirinya memilih untuk dipanggil dengan istilah Blande pula. Beliau adalah ayahanda dari ibunda gue.
Gak banyak yang bisa gue ceritakan tentang beliau. Yang tersisa di benak hanyalah kesan yang gue tangkap di masa gue kecil. Gue mengingat beliau sebagai sosok kakek yang berperawakan gemuk & berkulit putih dengan ubun-ubun licin gundul bak profesor. Sementara rambut putih tipis hanya tumbuh mengelilingi bagian bawah kepalanya. Sewaktu kecil gue menganggap ia sebagai orang yang berperawakan tinggi besar. Namun ketika gue beranjak remaja, baru sadar kalau tingginya sama dengan rata-rata pria Indonesia, sekitar 160an lah.
Wajahnya sendiri, di waktu muda - jika gue amati di beberapa foto - sepintas mirip Bung Hatta. Kepala berbentuk bundar, rambut di belah tepat di tengah, licin kelimis, dan kaca mata berbingkai tebal bertengger di hidung.
Ketika masih produktif, ia senang menggunakan topi vedora dengan sesekali asap rokok mengebul di pipa cangklongnya - sesungguhnya jarang gue melihatnya merokok. Kadangkala saat berjalan-jalan ia menggunakan tongkat kayu berulir seperti dua buah tali yang terpilin menjadi satu. Sesekali ia menggunakan istilah-istilah Belanda yang kemudian menimbulkan kesan di benak gue yang masih sangat kecil bahwa Opa adalah keturunan orang Belanda. Hehehe...ketika beranjak remaja gue merasa bodoh banget mengingat kesimpulan tersebut.
Opa yang gue kenal adalah seorang yang sangat pendiam. Cool banget kalau pinjam istilah jaman sekarang. Mungkin karena beliau adalah seorang pemikir. Dia senang membaca & menulis. Entah apa buku yang dibaca atau ditulisnya. Ia juga senang dan jago mengisi TTS. Konon beliau seorang dosen sejarah di UI dan Soe Hok Gie adalah salah satu mahasiswanya. Tak heran jika nama beliau sempat muncul di "buku harian seorang demonstran", walau hanya sekali saja.
Ketika kecil, yang gue tahu beliau tinggal di Kuala Lumpur bersama Oma dan salah seorang putrinya. Tiap kali pulang ke Jakarta, Opa dan Oma selalu membawa buah-buahan, seperti apel, anggur & jeruk sunkist, yang saat itu tidak boleh dijual bebas di Indonesia. Baru tahu kemudian kalau beliau diminta untuk mengajar sejarah di Universiti Malaya, di mana sebelumnya beliau pernah menjadi dosen terbang.
Yah...banyak sekali yang gue gak tahu tentang beliau. Sosoknya yang pendiam dengan suaranya yang berat ketika berbicara...membuat dia jadi tampak menakutkan di mata gue. Sekalinya bersuara, kata-kata yang keluar untuk gue adalah teguran (omelan?) karena kaki gue yang dianggapnya kotor, menginjak kasurnya saat gue mau meraih barang di atas lemari. Hal ini yg kemudian membuat gue memilih utk menjauh dari beliau...cari aman.
Anehnya nyokap sering bercerita bahwa Opa adalah seorang ayah yang menyenangkan. Ia senang bercerita dan seringkali ceritanya lucu. Di masa kanak-kanak dan remaja nyokap, Opa yang humoris dan sabar selalu dapat menenangkan hati nyokap ketika ia habis dimarahi oleh ibunya - yang kami panggil Oma. Heran...kok gue gak pernah menangkap kesan itu ya semasa kecil?
Akhir-akhir ini baru gue menyesali tidak sempat menimba ilmu darinya, di saat gue mulai tertarik dengan berbagai kisah di masa lalu. Pasti beliau menyimpan banyak cerita sejarah yang menarik untuk disimak dan dipelajari. Khususnya sejarah tentang bangsa ini, tentang Minangkabau & terutama tentang sejarah kota Jakarta.
Beberapa hari yang lalu, untuk melengkapi gambaran tentang Opa, gue pun mencoba mencari namanya lewat gugel. Ternyata selain pernah menulis tentang dr. Cipto Mangunkusumo (cuma ini buku yang pernah gue lihat sewaktu beliau masih hidup), beliau juga menulis buku tentang Sedjarah Nusantara, Sedjarah Minangkabau & Sedjarah Masuknya Islam ke Indonesia. Sayangnya buku-buku itu hanya bisa ditemui di perpustakaan di Malaysia dan Australia.
Opa mulai terbaring sakit di tempat tidur ketika gue SMA. Seingat gue, penyakit yang dideritanya adalah Parkinson. Saat itu sesekali gue ikut menemani nyokap menjaga beliau, baik di RS maupun di rumah tante. Tapi tetap tak ada percakapan yang berarti antara gue & Opa. Ia tetap menjadi Opa yang dingin bagi gue.
Setelah bertahun-tahun terkapar sakit di atas tempat tidur, akhirnya beliau berpulang ke Rahmatullah tahun 1998, ketika gue kuliah di Bandung. Harusnya ada banyak waktu untuk kami bisa berbincang-bincang setelah gue beranjak remaja. Apalagi mengingat jurusan yang gue ambil erat kaitannya dengan bidang keahlian beliau. Tapi ya itu tadi...hingga ia berpulang, di mata gue ia tetap seorang Opa yang dingin. Dan gue merasa gak punya topik yang bisa dibicarakan dengan Opa. Berbeda dengan sepupu gue yang berotak cemerlang, dia tampaknya selalu punya topik untuk dibincangkan dengan beliau. Dan tampaknya Opa pun lebih tertarik untuk bercakap-cakap dengannya daripada dengan gue :(
Ahh...seandainya waktu bisa diputar kembali....saat ini ada banyak sekali yang ingin gue tanyakan pada beliau.....*hiks* Tapi jangan-jangan, kalau pun beliau hidup kembali...gue tetap gak punya nyali untuk menegur beliau (karena trauma diomelin) atau tetap gak tahu harus membangun percakapan apa dengannya. Ah entahlah....